Senin, 26 Januari 2009

Analogi Unik


ANALOGI UNIK

Dalam sebuah ceramah agama yang disampaikan oleh seorang ustadz ditengah-tengah rangkaian acara shalat tarawih berjamaah, saya mencoba menyimak. Dari awal saya begitu mengikuti isi ceramah yang disampaikan, karena selain pembawaan ustadz dalam menyampaikan ceramah cukup bagus, saya mencatat beberapa point unik perlu untuk kita semua tahu. Barangkali, untuk menambah wacana pengetahuan kita tentang realita fenomena dakwah di masyarakat kita yang tergolong beragam dan unik. Sama sekali saya tidak bermaksud mengkritisi, sekedar berbagi atau mungkin bagi sebagian orang merupakan catatan hiburan atau lelucon.
Ustadz muda tersebut menyampaikan perihal nikmatnya orang memilih Islam sebagai agama dengan dilanjutkan keterangan dan anjuran untuk menjadikan Al Quran sebagai pedoman hidup yang harus dipelajari.
“ Ibaratnya kita hendak pergi ke Jakarta sedangkan sebelumnya kita sama sekali belum pernah ke Jakarta, tentu kita butuh peta untuk sampai ke Jakarta. Itu berarti peta sangat kita butuhkan dalam perjalanan menuju Jakarta. Begitu juga dengan kehidupan kita. Kita hidup di dunia menuju kehidupan akhirat. Untuk selamat di dunia dan di akhirat, kita perlu menggunakan Al Qur’an untuk menuntun hidup kita agar selamat sampai tujuan kita, yaitu bahagia dunia dan akhirat.
Bagaimana kita bisa mempelajari Al Qur’an, sedangkan membaca alquran saja kita sulit, malah tidak bisa sama sekali. Oleh karena itu, para hadirin sekalian jangan pernah merasa malas atau berat untuk datang menghadiri undangan pengajian yang di dalamnya dipelajari al qur’an. Tujuannya, bagaimana agar kita paham bagaimana aturan yang tertulis dalam alquran untuk mengatur kehidupan kita.
Jangan semangatnya kalau datang menghadiri pasar malam aja! Ya kalau ada pasar malam datang berbondong-bondong, kalau ada undangan pengajian ya sama, datang penuh semangat berbondong-bondong mempelajari alqur’an. Kalau begitu dunia nya dapat, akhirat nya juga dapat.
Bapak, ibu, hadirin sekalian………
Kalau orang kok hidup tanpa alquran, hidupnya tidak akan tenang. Untuk bisa tidur aja susah, perlu obat tidur, perlu suntikan, ah pokoknya macam-macam deh. Intinya, selain hidupnya tidak tenang, dia tidak akan mendapatkan petunjuk.
Jadi jangan dikira, semua pejabat tu hidupnya tenang. Pejabat atau siapapun juga kalau hidupnya tanpa didasari pada alquran, maka sudah bisa dipastikan hidupnya tidak tenang. Mungkin khawatir kedatangan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Mo makan ga enak, mo tidur susah, mau ngapa-ngapain juga serba bingung.
Ada seorang pengusaha besar yang cukup terkenal, sudah barang tentu dia orang yang kaya raya. Orang mengira dirinya hidup dengan serba tercukupi sehingga barang tentu kehidupannya tenang. Tapi tidak demikian. Pengawal pribadinya adalah teman saya sendiri, dia pernah bercerita perihal bosnya yang tidak bisa tidur kecuali setelah minum obat atau terlebih dahulu disuntik. Itupun tidak bisa lama. Terkadang 2 jam setelah tidur dia terbangun dengan sendiri dan susah untuk bisa meneruskan tidurnya lagi. Jadi, untuk bisa tidur lama saja, dia memerlukan beberapa kali suntik atau harus beberapa kali minum obat tidur. Jadi benarkan, orang kalau tidak mau pegang al quran, meski dia pejabat, meski dia orang kaya, dia tidak akan merasakan ketenangan hidup.
Berbeda dengan orang islam yang mau pegang alquran. Tidurnya mudah, hidupnya tenang. Coba lihat, kalau di pengajian biasanya tausiahnya baru dimulai saja, jamaah sudah terlihat ada yang tidur, padahal yang sedang dikaji al qur’an. Mudah bukan kalau orang mau pegang quran bisa tidur? Silahkan lihat kalau lagi sholat jum’at, berapa banyak jama’ah yang tertidur padahal ceramahnya baru saja dimulai. Itu berarti, orang yang memegang al quran itu tidak mengalami sulit tidur, ya kan?.
Mendengar hal itu jamaah tertawa, termasuk juga saya sendiri. Saya tidak habis pikir, betapa cerdas ustadz muda ini membuat sebuah analogi. Ya, itulah sebuah analogi unik. Bagaimana tidak, belajar alqur’an, berpegang teguh dengan al qur’an kok sangkutannya dengan tidur waktu mendengarkan kajian al quran?

Fy ruzz adnan

DALAM DEKAPAN IBU

DALAM DEKAPAN IBU

Jauh diperantauan, di sebuah kota metropolitan jakarta, saya merenung. Alam pikiranku terlempar jauh ke rumah. Terlihat potongan wajah ibu dan bapakku. Banyak perubahan sudah pada diri mereka. Ayah yang dulu seorang yang gagah dan tegas, kini beliau harus mengkonsumsi obat dalam jumlah banyak, untuk menjaga kesehatannya setelah beberapa waktu lalu hingga kini mengidap pengakit gula. Demikian juga ibu. Setiap kali datang, saya sering mendengar keluhan tentang kondisi fisiknya yang sering kecapaian.

Bagi saya, ibu merupakan sosok wanita yang luar biasa. Seingat saya, sejak kecil hingga kini, saya tidak pernah melihat atau mendengar ibu membantah ayah, atau terlibat adu mulut dengan ayah. Sama sekali tidak pernah. Saya hanya ingat, dua kali ibu menangis karena benar-benar saat itu keluarga sedang mengalami himpitan ekonomi, sedangkan saat itu saya dan empat saudara saya masih kecil-kecil. Saat itu memang, ibu tidak terlibat dengan aktifitas pekerjaan di luar, ibu hanya di rumah mengurusi anak-anak.

Kedua kalinya, ibu menangis pagi hari sebelum saya berangkat ke sekolah. Ibu menangis sambil menggendong adik saya perempuan bungsu, Zahra. Saya tidak tahu persis awal ceritanya bagaimana, yang saya ingat hanya saat itu Zahra yang baru berusia beberapa hari, bermaksud hendak diasuh oleh bibi yang sudah sekian lama menikah belum dikaruniai keturunan. Tidak hanya ibu yang menangis, beberapa diantra kami juga menangis. Saat itu, Zahra memang begitu lucu dan menggemaskan, dan merupakan saudara kandung kami. Seakan kami semua tidak terima kalau Zahra harus berpisah dari kami dan ibu.

Maaf saya lupa, ternyata tidak hanya dua kali saya melihat ibu menangis. Ibu menangis ketika melepaskan kakak laki-laki saya untuk dibawa ke pesantren. Yang saya ingat tidak hanya ibu yang menangis, saya juga, adik-adik juga. Entah kenapa saat itu tidak seperti biasanya, kami biasa bertengkar karena empat anak laki-laki lahir berurutan dan hampir sama besar. Tapi saat itu, fisik mas hakim memang belum cukup besar. Bapak bermaksud mengantarkannya ke pesantren selepas MI di sebuah pesantren yang cukup jauh dari rumah, tepatnya di Propinsi Lampung. Entah mengapa saat itu ayah mendaftarkannya ke pesantren yang cukup jauh dan tidak begitu dikenal, padahal saya yakin saat itu ayah juga pasti tahu pesantren-pesantren unggulan di pulau Jawa semisal Gontor.

Ibu pernah bercerita, mas Hakim bertanya kepada ayah ketika hendak meninggalkan rumah dengan digandeng oleh ayah “pak, kok ibu nangis kenapa?”. Saya amat sedih menuliskan kisah ini. Ibu begitu bermakna bagi saya.

Saat ini, semua saudara laki saya berpisah. Mas Hakim mencari nafkah di Jepang. Saya kuliah di Jakarta. Dua adik laki-laki, Izzuddin dan Maulana di Karanganyar, solo.

Mengingat kembali masa lalu dengan ibu, terkadang saya tertawa, namun sebaliknya kadang juga saya harus bersedih ingin pulang memeluknya.

Suatu saat, ketika anak pertama ibu, hendak berangkat ke sekolah perawatan setingkat SMU, ibu bermaksud mengajak adik yang masih kecil saja karena banyaknya barang bawaan dan bekal mba Ika. Mba Ika, saat itu bersekolah di sekolah perawatan yang berasrama, jadi pikir kami sebetar lagi mba Ika tidak lagi berada di tengah-tengah kami.

Sore hari, dengan menggunakan becak, ibu dan mba Ika hendak berangkat. Saya dan izzuddin yang saat itu sudah agak besar, hendak ditinggal ibu. Kami berdua memaksa agar bisa ikut. Ibu selalu bilang tidak bisa, tidak usah ikut, becaknya tidak muat. Saya dan izzuddin terus memaksa. Akhirnya, becak berjalan tanpa kami berdua. “ok, kita cegat nanti di Penaton” kata saya.

Kami berdua berlari mengejar becak lewat Penaton bermaksud mencegat rombongan ibu. Ya, sampailah kami di depan becak ibu. Saya cegat, berusaha lagi merengek agar supaya diikutkan. Ibu kembali melarang. Namun, bapak pengayuh becak mencoba menenangkan hati kami berdua dengan mempersilahkan untuk ikut naik bersama rombongan ibu.

Ya, kami berdua naik ke atas becak, sambil ibu menggerutu. Becak sudah benar-benar penuh, nampaknya bapak pengayuh becak merasa beban yang amat berat karena barang bawaan mba ika begitu banyak. Belum lagi ditambah lagi saya dan Izzuddin.

Yang saya ingat, saya hanya bisa berdiri bersandar di besi samping becak, sedang Izzuddin berada di satu sisi lainnya.

Becak kembali mulai beralan lagi. Becak berjalan semakin pelan, karena beban semakin bertambah berat. Di depan, tidak jauh setelah becak berjalan, ada sebuah polisi tidur yang memang tidak terlalu tinggi, tapi cukup lancip di bagian atasnya. Perasan saya sudah mulai tidak enak, nampaknya sebentar lagi akan terjadi sesuatu. Benar saja, apa yang saya rasakan terjadi. Saat perlahan roda depan becak menaiki polisi tidur, sudah hampir tidak kuat naik. Akhirnya, sedikit dipaksakan akhirnya naik juga.

Namun malang, saat roda belakang dimana pengayauh becak duduk tepat di atasnya menaiki polisi tidur, naik tanpa bisa kembali turun. Bapak becak itu mengayuh roda yang menggelantung diatas udara alias temangsang di udara dengan posisi tetap duduk mengayuh tapi tidak menggapai tanah.Muatan di depan terlalu berat dan berhamburan keluar. Dengan sigap saya dan izzuddin melompat keluar melarikan diri setelah bencana malang itu menimpa kami semua penumpang becak. Roda depan yang semula bulat, menjadi bengkok, kontan perjalanan tidak bisa dilanjutkan. Saya berlari ke rumah, tidak mempedulikan kondisi ibu dan adik kecilku yang saat itu masih digendongan. Akhirnya, ibu mengganti biaya penggantian roda karena iba dengan kondisi bapak becak yang tak berpunya dan bernasib malang. Astaghfirullah.

Sedemikian, namun hingga kini ibu tidak pernah mengungkit kembali kisah itu karena jengkel, melainkan untuk mengingat kembali kisah lucu untuk menghibur kami, yang saat terjadinya barangkali sama sekali tidak ada yang lain selain jengkel dan mangkel dengan kami berdua.

Lagi, suatu malam selepas bermain ke rumah teman, saya pulang ke rumah. Tidak seperti biasanya, malam seperti itu rumah masih ramai. Saya hanya dengar ricuh ramai, tampaknya belum ada yang tidur. Sesampainya dirumah, saya baru tahu ternyata semuanya bergembira karena baru saja ibu beli sepeda baru warna metallik. Malam itu, saya mencoba sepeda ibu, saya bawa keluar rumah. Betapa senangnya, sebagaiman ibu juga senang karena besok pagi tidak lagi perlu berjalan kaki belanja ke pasar. Di samping roda depan, ada sebuah lampu kuning untuk menerangi jalan ketika digunakan malam hari sebagaiman layaknya lampu sepeda motor. Begitu senangnya, bergantian kami mencoba. Sepeda itu juga biasa saya pijam untuk suatu keperluan.

Suatu sore di akhir Ramadlan, saya bermaksud i’tikaf di masjid. Saya bilang ke ibu izin menggunakan sepeda ke masjid. Saat itu ibu di belakang, saya hanya izin dengan berteriak. Semuala ibu melarang khawatir sepeda hilang karena hampir idulfitri biasanya banyak pencurian. Tapi tidak begitu saya gubris, tetap saja sepeda saya bawa ke masjid karena saya malas berjalan.

Sesampainya di masjid, sepeda saya letakkan di samping masjid. Selepas berwudlu, saya naik ke lantai dua dan mulai mengaji dengan asyik. Terus mengaji, terus mengaji hingga tidak terasa sebentar lagi datang waktu berbuka. Saya sudahi ngaji, dan saya turun kebawah mengambil sandal, pulang. Saya berjalan menuju samping masjid untuk mengambil sepeda ibu. Tapi, apa yang dikhawatirkan ibu benar, sepeda itu hilang, tidak ada. Saya kaget. Semula saya hanya membatin, “ah ini mesti dipakai si Fan untuk maen bola di lapangan Kalisari tanpa bilang ke saya”. Bermaksud memastikan, saya menyusul Fan ke lapangan, saya pinjam sepeda seorang teman. Sesampainya dilapangan, saya tanyakan ke fan ternyata dia tidak membawanya. Astaghfirullah, “berarti dimana???!!!hilang???

Kembali lagi ke masjid, berharap tadi di pinjam teman tapi tidak ijin dan sekarang sudah dikembalikan. Ternyata, tidak juga saya temukan sepeda ibu. Perasaan saya bingung, apa yang harus saya bilang ke ibu. Saya teringat kembali tadi ibu sudah melarang, dan kini saya menyesal. Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Saya pulang dengan berbagai perasaan bingung dalam hati.

Sesampai di rumah, saya bilang pada ibu sepeda hilang. Tidak banyak berkata-kata, ibu banyak diam tapi nampak memendam rasa yang amat jengkel. Ibu sangat menyayangkan. Saat tiba waktu berbuka, bukan nikmat buka puasa yang saya rasakan. Saya juga merasakan pahit rasanya menjadi pusat perhatian dan tempat menumpahkan rasa jengkel saudara-saudara saya.

Kini, saya minta maaf ketika kisah itu saya ceritakan kembali ke ibu, tapi kini ibu tersenyum dan memukul kepala saya dengan gemas sayang. Ibu, bagaimana saya harus membalas kasih sayangmu. Sayang yaang dapat saya berikan tidak seberapa membalas apa yang engkau berikan. Ya Allah, ampunilah dosanya, mudahkanlah urusannya dan sayangilah dia sebagaimana dia menyayangiku ketika aku kecil.

Kini, menginjak dewasa setelah semenjak 5 tahun lalu saya tidak tinggal menetap bersama ibu, ibu seringkali meminta dipijit semabri bilang “mak’e gecel yus” ketika saya pulang ke rumah. Ya, nama kecil ibu memanggil saya dengan iYus.

Kedua kalinya, bapak. Sebagaimana apa yang dikata rasul dalam haditsnya, ketika menyuruh seorang sahabat sebanyak tiga kali untuk berbakti kepada ibu, kini saatnya saya berbakti kepada ayah. Seorang imam keluarga yang begitu tegas dalam mendidik kami, terlebih dalam tarbiyah diniah atau dalam ketaatan menjalankan perintah agama.

Sewaktu dulu kami semua masih kecil, setiap shubuh ayah membangunkan kami semua dengan berbagai cara hingga kami semua terbangun dan sholat berjamah di masjid untuk yang laki-laki. Dengan kemalasan yang amat, saya dan tiga saudara laki beragkat ke masjid sambil sesembari merebahkan badan di atas tembok yang biasa digunakan untuk duduk-duduk di depan rumah. Menunggu semuanya bangun, kembali lagi kami berjalan dengan ngantuk berjalan menuju masjid. Selesai sholat, kami tidak berani pulang sebelum selesai kuliah shubuh meski mendengarkannya sambil tetidur. Baru setelah itu, kami mulai pulang, itupun tidak begitu saja pulang.

Biasanya, sesampainya kami di mulut gang masuk menuju rumah, ayah menyuruh kami untuk berbalap lari di mulai dari yang paling kecil untuk berlari terlebih dahulu. Ayah bermaksud agar kami bugar tidak kembali tidur selesai shubuh, dan itu bagi ayah sangat dilarang. Kalau tidak mengaji al qur’an, diantara kami ada yang mengerjakan PR, atau menata jadwal sekolah hari ini, atau aktifitas apa saja selain tidur yang jelas.

Ketika saya kira-kira diakhir sekolah dasar, ayah bermaksud hendak mendidik kami menjadi gemar membaca, dan merubah tradisi pasif menonton televisi. Suatu pagi, TV oleh ayah dijual, dan digantikan dengan sebuah tape besar yang bisa juga untuk menyimak berita radio. Jadi, bagi ayah tidak ada alasan tertinggal informasi hanya karena tidak memiliki televisi.

Di awal kali, kami harus melihat televisi di rumah tetangga. Terkadang , hingga malam hari. Tapi, rupanya tidak lama kami mulai bosan melihat televisi, dan sedikit demi sedikit mulai akrab dengan membaca koran atau membaca apa saja. Untuk menghibur, ayah meminjamkan untuk saya buku 101 KISAH TELADAN yang dipinjamnya dari perpustakaan sekolah. Saya baca hingga jilid yang ke tiga belas kalau tidak salah, atau tepatnya berapa saya lupa.

Kini, kami semua menjadi hobi membaca, bahkan merasakan bacaan merupakan suatu kebutuhan. Berbelanja buku menjadi hobbi,dan menulis sedikit demi sedikit menjadi sebuah latihan keterampilan. Kalau anda datang ke rumah saya, akan didapati di tembok depan rumah berbagai artikel penting yang di tempel ayah. Belum lagi di lemari besar ruang tamu, anda akan mendapati berjubel buku dari berbagai bidang bahasan. Bahkan, masing-masing kami memilki koleksi buku yang cukup banyak. Saya sendiri, selama empat tahu dipesantren, buku yang saya beli sebanyak 3 kardus, selain buku pelajaran. Barangkali, buku yang saya miliki merupakan koleksi buku pribadi yang paling banyak diantara teman-teman. Alhamdulillah, mudah-mudahn bermanfaat.

Suatu ketika, ketika ayah pergi haji, seorang saudara bermaksud meminjamkan televisinya sebesar 21 inci untuk kami sekeluarga. Betapa senangnya, sudah lama ditengah-tengah kami tidak ada televisi. Tidak seperti biasanya, kami tidak perlu datang ke tetangga untuk melihat televisi, kami asyik menonton TV di rumah karena tidak ada ayah biasa yang melarang kami.

Sepulang ayah dari haji, televisi itu segera harus kami kembalikan karena ayah menyuruh kami mengembalikannya, meski yang punya mempersilahkan kami untuk tetap meninggalkan televisinya di rumah kami. Itulah, ketegasan dan kebaikan ayah.

Kini,setelah saya merantau di jakarta, hampir tidak pernah ayah tidak membangunkan saya lewat telepon hp di tengah malam. Subhanallah begitu perhatiannya, hingga saya sendiri heran, juga teman-teman serumah (kontrakan) pada heran, kok setiap hari masih diperhatikan sholat malamnya, meski jauh terpisahkan oleh jarak. Ya Allah, terimalah amalan sholehnya, ampunilah dosanya, dan sayangilah ia sebagaimana ia menyayangiku di waktu kecil.

Kini, ayah dan ibu sudah tua. Fisiknya sudah mulai melemah. Ayah sendiri sudah mulai sakit. Sedangkan, tidak setiap saat kami bisa berbakti secara langsung, karena terpisahkan oleh jauhnya jarak, sehingga hanya sesekali kami pulang dan mencium tangnnya. Ya Allah, mereka telah mendidik kami mengenalMu, maka jadikanlah keduanya dibawah rahmatMu, dan jauhkanlah keduanya dari api neraka dan siksa kubur, amin.

Tidak hanya saya sendiri yang mengalami dan meraskan belaian sayang orang tua. Semuanya tentu mengalami dan merasakan, dengan bentuk yang berbeda-beda. Apa yang saya tulis, hanya satu dari sekian banyak kisah yang mengingatkan kita, betapa oarang tualah adalah termasuk diatara sekian orang yang merubah kita, diantara orang yang meliki jasa yang besar kepada kita.

Sudah saatnya, kita kembali pulang mencari keridhoan mereka setelah lama kita penat dengan berbagai aktifitas di tempat yang jauh. Mereka berdua selalu mendokan kita, sebaliknya kita, akankah kita selalu mendoakan keduanya?

Fy ruzz adnan

Jakarta, 06 November 08