Minggu, 10 Mei 2009

BERPOTENSI SUKSES KARENA BAKAT

BERPOTENSI SUKSES KARENA BAKAT
Kebanyakan orang di negeri kita beranggapan bahwa, prestasi sekolah adalah prestasi segala-galanya. Bilamana ada seorang anak mendapatkan nilai yang bagus, orang tuanya akan merasa senang dan tak jarang memberinya hadiah. Sebaliknya, ada seorang ibu yang marah-marah kepada anaknya kerana nilai yang didapat adalah nilai buruk. Tampaknya, masyarakat kita belum banyak tahu bahwa kecerdasan tiap orang itu berbdeda antara satu dengan yang lainnya. Dengan pemahaman yang keliru, orang tua lebih percaya bahwa prestasi sekolah adalah prestasi terbaik dan segala-galanya.
Pernahkah anda menemui orang tua yang memberi hadiah kepada anaknya karena sang anak berhasil membuat kandang ayam dari kayu yang dibuatnya sendiri selama empat hari? Si anak membuatnya haingga seringkali lupa makan, atau makannya terlambat. Bangun pagi, bukanya buku sekolah yang dipegang, tapi kandang ayam yang belum selesai pengerjaannya. Andai saja ada, kebanyakan orang tua kita akan memarahi anaknya dengan alsan si anak terlalu banyak bermain, atau dianggap tidak serius belajar pelajaran sekolah. Hanya sedikit diantara mereka yang menyadari bahwa dibalik ketekunan anak itu membuat apa yang diingininya, ada sebuah modal yang amat mahal bagi masa depan keberhasilan anak tersebut. Modal mahal itu adalah, talenta. Kalau kurang dimengerti, sebagian orang akan menyebut dengan kata bakat. Ya, setiap orang lahir dengan memiliki bakat yang berbeda-beda, sebagai bekal dari Allah berupa kelebihan satu orang dengan sesamanya.
Apapun bakat seseorang, mesti mendapatkan apresiasi. Adalah merupakan hal yang salah, ketika orang tua menganggap bahwa apa yang dilakukan anak yang berpayah membuat kandang ayam berhari-hari tersebut adalah sebuah kelalaian. Mestinya, itu mendapatkan apresiasi karena dia berusaha membangun impiannya dengan mengembangkan bakat yang dibawanya sejak lahir. Nistains odop dalam bukunya yang berjudul Gagal Itu Baik, setuju mengatakan bahwa talenta adalah modal termahal yang dimiliki seseorang.
Sebagaimana kemahiran, talenta akan menjadi nilai plus bagi seseorang jika benar-benar dilatih terus menerus. Sebaliknya, talenta itu akan terkubur, tidak diperhitungkan, menjadi tidak berharga bagi seseorang ketika tidak pernah ditempa, tidak pernah dilatih, atau tidak pernah ditekuni. Sangat disayangkan kalau sampai itu terjadi.
Senilai perumpamaan seorang yang mendapatkan warisan harta kekayaan yang amat berlimpah, kemudian hilang sia-sia. Harta itu dirampok, dibuang dengan sengaja, atau dikubur. Dirampok oleh orantuanya sendiri yang menganggap bahwa bakatnya itu adalah sebuah kelalaian yang tidak berguna. Talenta atau bakat yang dibuang oleh pemilikinya karena merasa apa yang dimilikinya berupa keahlian dalam suatu bidang tersebut dianggap tidak bisa membawanya kepada kesuksesan, atau dianggap tidak memiliki nilai yang berharga bagi dirinya sendiri. Ada juga, yang mengubur talentanya sendiri dengan sengaja menutupnya, dan mengatakan bahwa dirinya tidak mampu melakukan itu. Akhirnya dia lebih memilih melakukan pekerjaan yang biasa saja, yang dilakukan kebanyakan orang, yang sudah dianggap biasa.
Saya sendiri mengalami seperti apa yang dialami kebanyakan orang di lingkungan masyarakat kita yang umumny tidak melihat berharganya sebuh bakat. Ketika saya duduk di bangku SMP, ayah saya menginginkan saya mengikuti bimbinga belajar. Beliau bermaksud, agar nilai matematika, niali fisika, bahasa inggris, dan pelajaran pokok lainnya bagus.
Memang, dulu guru matematika saya sering sekali memuji nilai saya yang biasa duduk diperingkat tertinggi. Tapi, saya sendiri tidak mendapati keasyikan untuk berlajar jauh matematika. Saya tidak pernah sibuk memperlajari matematika hingga terus menerus. Saya tidak tertarik. Kalau nilai saya bagus, itu karena saya intens dalam memperhatikan.
Ayah saya menginginkan saya terus meningkatkan nilai pelajaran eksakta, dengan harapan kedepan saya bisa diterima di SMU favorit. Dalam hati, saya menolak itu. Saya tidak pernah berkeinginan untuk bergulat dengan soal-soal matematika, fisikka, dll. Saya tidak suka itu.
Menjalani bimbingan itu, rasanya merupakan hal yang paling membosankan bagi saya. Setiap datang hari yang sorenya saya harus berangkat bimbingan belajar, bagi saya hari itu adalah hari yang paling duka. Saya selalu bersedih. Beberapa kali saya menunjukkan keengganan saya untuk berangkat, tapi itu tidak ditangkap oleh orang tua sebagai nilai positif. Saya selalu dimarahi ketika tidak berangkat. Sengaja, setiap kali berangkat saya mencari alasan untuk bolos. Saya terkadang bersembunyi di balik tumpuka pakain yang belum disetrika ibu, dengan pura-pura tidur. Setiap kali ayah menemukan saya, beliau aka membangunkan saya dan memaksa saya berangkat bimbingan belajar.
Di lain pihak, kebiasaan saya yang sejak kecil teramat hobi menulis kisah-kisah dalam buku harian, tidak ditangkap oleh orang tua bahwa itu adalah bakat saya yang lebih mahal daripada keseriusan saya mempelajari matematika, atau berangkat bimbinga belajar. Saya masih ingat, setiap selesai menulis satu kisah, saya akan serahkan kepada orang tua. Setalah itu saya hanya mendapatkan pujian. Itu saja. Tidak pernah saya diantar ke komunitas penulis, atau sekola menulis, atau difasilitasi lebih untuk mengembangkan bakat saya dalam menulis. Akibatnya, saya menjadi tidak PD. Saya merasa, bakat saya tidak berharga. Saya merasa tidak memiliki kelebihan, ditambah lagi saya harus menjalani kewajiban belajar hal yang saya tidak senangi. Saya amat menyayangkan hal itu.
Meski demikian bagi saya tidak masalah, karena itu adalah realita kebanyakan masyarakat kita termasuk orang tua saya. Umumnya mereka lebih memilih mengukir prestasi yang dianggap berharga bagi kebanyaka orang. Berrcita-cita menjadi dokter, berkerja diperusahaan asing, menjadi pegawai negeri sipil,dll. Itu baik saja, kalau memang disitulah keenderungan atau bakat seorang . buruknya, ketika hal itu menjadi tujuan agar memiliki gaji tetap, agar mendapatkan kesejahteraan gaji, agar banyak uang, agar dapat pensiunan, dll. Kalau sudah begitu cara berfikirnya, maka berbakat itu berarti berpotensi gagal. Hal itu karena, bakat akan menganggu keseriusan seorang untuk melakukan sesuatu yang dianggap hebat tapi hebat menurut kebanyakan orang, bukan pada dirinya sendiri.
Pada hakikatnya, setiap orang berpotensi menjadi seorang yang sukses, sukses menurut makna kesuksesan yang paling disukainya. Dasarnya, setiap orang terlahir dengan memiliki bakat, dan bakat itu adalah sesuatu yang menjadikan seorang diperhitungkan, kalau saja seseorang memaksimalkan bakat dibawanya. Bakat menulis, kecenderungan pada eksakta, melukis, memancing, membuat kerajinan tangan, kegemaran bergelut dengan eloktronika, berorasi, memancing, diplomasi, berlari dengan cepat, berenang dengan cepat, dan masih banyak lagi yang tidak mungkin saya sebutkan semuanya satu persatu.
Bagaimana saya tahu bakat saya?
Apa saja yang menjadi kecenderungan seseorang untuk melakukan sebuah aktifitas-positif tentunya-, maka disitulah bakatnya. Seorang motivator terkemuka, Mario Teguh, dalam sebuah tayangan televisi pernah mengatakan beberaa point untuk mengidentifikasi bakat seseorang. Dalam uraiannya, dia mencirikan bakat itu adalah, sesuatu yang anda hasilkan. Hasil dari apa yang telah anda buat, mendapatkan pujian banyak orang, dengan kata lain orang akan memuji karya anda. Namun demikian, anda merasa biasa saja dengan apa yang anda hasilkan. Itu ciri yang pertama.
Yang kedua, teliti aktifitas apa yang selama ini anda lakukan dengan rela bangun pagi karenanya, anda terbiasa berkorban untuk melakukannya. Misalnya, anda sering telat makan, kurang tidur, karena anda asyik melakukan aktifitas itu.
Yang ketiga, aktifitas itu anda lakukan dengan dasar senang. Anda senag malakukannya, atau anda mencintai aktifitas itu.
Ciri itu bisa dicontohkan dengan seorang yang gemar membuat kandang burung, misalnya. Aktifitas-membuat kandang burung-itu begitu dicintainya. Setiap kali dia berhasil menyelesaikan pengerjaannya, orang lain akan kagum dan memuji hasil karyanya tersebut. Sedsangkan, dia sendiri yang mengejakannya menilai itu biasa saja. Hal itu dinilai oleh dirinya sendiri dengan sesuatu hal yang biasa, karena dia biasa melakukannya. Satu lagi, dia amat mencintai aktifitas pemngerjaan kandang burung itu ! nah, itulah bakatnya.
Sampai di sini, jangan berfikir bahwa dia tidak bisa berhasil dengan itum karena menganggap tidak ada nilai plusnya memiliki bakat itu. Tidak demikian. Tampaknya, itu hanya bakat membuat variasi kandang burung, suatu saat, sangat mungkin dia menjadi seorang yang bersepealisasi dalam pembuatannya, hingga bisa menjadi barang antik karena bentuknya. Kalau sudah demikian, orang banyak kagum dengan karyanya. Perhatikan, berapa banyak pecinta burung di negeri kita? Hitung, betapa besar peluang pasarnya kalau dia terus menekuni bakatnya, dan akhirnya dia menemukan model kandang yang baru yang belum ada sebelumnya! Sangat mungkin, penemuannya tentang kandang burung model baru, akan bisa dipatenkan hak produksinya. Nah, tidak mustahil kelak dia akan memiliki perusahaan besar yang memproduksi kandang burung unik. Benarkan?
Jangan malah berfikir, sayang sekali seorang yang memiliki bakat tersebut. Paling banter, dia hanya bekerja sebagai seorang pembuat kandang burung. Ah, cara berfikir seperti itu terlalu sempit. Tidak ada yang menghalangi seorang menjadi bos, tidak ada orang yang menghalanginya sukses. Sebaliknya, dia bisa menciptakan kesuksesan dengan bakat yang dimilikinya itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar