Minggu, 10 Mei 2009

PULANG SAJA !

PULANG SAJA !
Kakek saya cukup keras dan sungguh-sungguh dalam menanamkan nilai keagamaan pada anak-anaknya. Bahkan hingga masa tuanya, cucu-cucunya juga selalu dipesan dan diperhatikan masalah sholatnya, ngafal qurannya, ngajinya, sekolahnya, sholat malam dll.
Pada masa tuanya, kakek pernah tinggal seorang diri di rumahnya di Sragen. Di pelosok desa, di sebuah masjid jami' kakek tetap menjadi imim sholat meski matanya sudah buta, jalannya sudah harus dibantu dengan tongkat.
Kebiasaannya berdzikir sehabis sholat shubuh hingga waktu Dluha, masih terus dijalaninya hingga masa tua.
Suatu saat ketika itu liburan, saya ingin berkunjung sowan ke tempat kakek. Tidak sendirian, saya mengajak saudara saya, Lian. Saat itu, saya masih duduk di bangku sekolah dasar akhir kalau tidak salah. Karena saat itu masih coba-coba, saya seringkali merokok secara sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan ayah.
Sampai di rumah kakek, saya salim. Sambil menyebutkan nama, dan anak siapa,
"niki kulo mbah, putrane lek ahmad semarang" (ini saya kek, putranya paman ahmad yang tinggal di semarang). Suatu kebiasaan, ketika kami cucu-cucunya mencium tangan kakek sembari menyebutkan seperti di atas. Itu karena kakek sudah tidak lagi bisa melihat.
Tapi, karena saya tidak menyebut nama, kakek mengira saya ini ini bukan Fairuz, tapi Hakim, kakak lelaki saya. Saat itu, diantara kesemua anak bapak, Hakim yang paling dikenal. Dikenal karena, dia beberapa waktu lalu keluar dari pesantren di Sumatra.
Ceritanya begini. Mas Hakim dulu adalah anak laki-laki pertama bapak yang masuk ke pesantren. Entah kenapa, saat itu pesantren yang dikenal adalah pesantren yang ada di Lampung, sumatra. Hingga dua tahun masa pendidikan, bapak kecewa dengan perkembangan Mas Hakim. Sisi kenakalan sih tidak, bagi saya wajar-wajar saja. Bapak yang seorang ahli kependidikan, nampaknya tidak puas dengan hasil belajar mas Hakim di pesantren. Akhirnya, Mas Hakim ditarik pulang dan disekolahkan di Semarang. Itulah, yang membuat Mas Hakim terkenal setelah para keluarga tahu dia tidak lagi di pesantren namun dengan penilaian yang salah.
Kerabat dari bapak umumnya mereka menilai bahwa Hamkim dikeluarkan dari pesantren akibat kenakalannya. Padahal, tradisi belajar di pesantren bagi keluarga besar ayah sudah membudaya. Kerana itulah, mas Hakim kecewa.
Kembali lagi. Karena saya tidak menyebutkan nama, kakek juga tahunya saya adalah Hakim. Saya tidak masalah, malah senyum-senyum saja.
Dari siang setelah sampai di rumah kakek, saya tidak banyak ngobrol dengan beliau karena sudah tua jadi sulit untuk banyak berkomunikasi. Saya malah asyik ngobrol dengan Lian. Maen ke pasar, maen ke sungai belakang rumah kakek, dan jalan-jalan keluar.
Malam hari selepas pulang dari masjid, saya tidak lantas tidur, tidak sebagaimana kakek yang langsung tidur setelah meminum teh kental di meja dekat dipan tidurnya.
Saya duduk di teras dengan Lian. Sambil menikmati suasana malam di pedesaan, muncuL niatan buruk dalam hati saya. Saya ingin merokok sambil duduk-dudk di teras. Dalam hati saya pikir, kakek tidak akan tahu, toh beliau sudah tidur.
Asyik saya merokok dan ngbrol banyak dengan Lian. Terus saja menghisab, ngobrol, hingga larut malam. Nikmatnya...
Setelah terasa mengantuk, saya ajak Lian tidur. Saya duduk dibangku panjang, Lian di samping saya. tak lama kemudian, saya dan Lian terlelap tidur.
Begitu lelapnya, hingga saya dan Lian bangun kesiangan. Saya bengun karena kaget mendengar suara tongkat kakek yang dipukulkan ke pintu rumah dengan kencang,
"Kim, wes sholat durung?!" (kim, udah solat belum?)
Ternyata, hari sudah hari sudah panas masuk waktu dluha. Kakek pulang dari masjid, bertanya kepada kami berdua yang baru saja bangun. Saya tidak bisa berbohong,
"dereng mbah" (belum kek)"jawabku dengan mata setengah tidur karena baru saja bangun.
Sontak kakek marah, ditambah lagi taunya saya adalah Hakim, cucu yang keluar dari pesantren dikira karena kenakalannya.
"koe rene iki opo mlayu ko bapakmu piye?" (kamu datang kesini kabur dari ayahmu ya !" gertak kakek, dikira saya ke datang ke rumahnya adalah karena kabur dari orang tua yang taat beragama, dan saya tidak taat beragama. Beliau mengira saya begitu.
"wes nek ngono muleho kono! Muleho nang Semarang rak usah rene nek nggur mlayu ko bapakmu! ( kalau begitu pulang saja ke Semarang, tidak usah kesini kalau tujuannya lari dari ayahmu! Kakek tambah marah.
Ya Allah, musibah ini. Ngerokok sampai larut malam, sampai shol;atnya kesiangan, sampai bikin kakek marah, nyampai disuruh pulang. Aduh!
Segera saya bangunkan Lian, sholat shubuh waktu dluha.. setelah itu mandi, beres-beres, dan pamitan pulang.
Sampai di rumah ayahkaget, "lho kok sudah pulang, katanya mau nginep tiga hari ?"
Saya ceritakan apa yang saya alami, dan bapak tersenyum. Sejak saat itu hingga kini, bapak masih teringat kisah itu, terbukti beberapa kali masih mengingat dan menyebutkan kisah itu diperdengarkan kepada orang lain. "kalau ga sholeh, pergi saja dari rumah" begitu kurang lebih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar